Oleh: Purkon Hidayat
Apakah Hari Santri masih relevan di era kecerdasan buatan, ketika tulisan dapat dibuat mesin, video diproduksi dalam hitungan detik, dan data melimpah melebihi kemampuan umum manusia memahaminya?
Bagi sebagian orang, perayaan seperti itu terasa seremonial, bahkan sentimentil. Namun, barangkali justru di tengah gempuran teknologi dan kebisingan informasi inilah santri kembali dibutuhkan, bukan sekadar penjaga masa lalu, melainkan arsitek moral masa depan.
Kini, kita hidup di zaman yang memuja kecerdasan, tapi kehilangan kebijaksanaan. Kita dikelilingi oleh kata-kata, tapi miskin makna. AI atau yang dialihbahasan secara akurat oleh Dimitri Mahayana sebagai “Akal Imitasi” begitu lancara menulis esai, memberi nasihat, bahkan berpura-pura bijak. Namun tanpa kesadaran, semua itu hanya gema tanpa jiwa.
Filsuf Amerika Harry G. Frankfurt menyebut fenomena ini sebagai “The Age of bullshit”, era ketika kata-kata kehilangan tanggung jawab moral terhadap kebenaran. Yang penting bukan lagi benar atau salah, tetapi terdengar meyakinkan. Pada saat yang sama, kita saat ini menghadapi tantangan hilangnya otoritas keahlian. Tom Nichols menyebutnya sebagai “The Death of Expertise”, era ketika orang menolak belajar lebih dalam, tapi yakin sudah tahu segalanya, zaman ketika emosi lebih berharga dari pengetahuan, dan pendapat pribadi lebih dipercaya daripada hasil riset.
Dalam kombinasi keduanya, kita hidup di dunia yang semakin bising tapi dangkal: dunia di mana setiap orang bicara, tapi sedikit yang berpikir. AI dan big data mengubah segalanya, dari cara kita bekerja hingga cara kita beriman. Namun teknologi hanya memberi kemampuan melihat lebih banyak, bukan memahami lebih dalam. Kita tahu apa yang terjadi, tapi tidak tahu apa maknanya. Kita bisa memprediksi perilaku pasar, tapi gagal membaca arah manusia.