Masa depan Ghaza adalah salah satu isu paling kompleks dalam politik internasional kontemporer. Pertemuan dan kajian yang dilakukan dengan pendekatan studi masa depan mencoba memetakan berbagai kemungkinan arah yang bisa terjadi, mulai dari skenario paling buruk hingga kondisi ideal yang diharapkan. Dengan menggunakan kerangka skenario masa depan (possible, plausible, probable, dan preferable futures) serta teori masa depan kritis, kajian ini menyoroti peran para aktor, dinamika narasi, dan faktor geopolitik-ekonomi yang akan memengaruhi perjalanan Ghaza menuju masa depan yang adil, mandiri, dan damai.
Masa Depan yang Mungkin (Possible Futures)
Semua kemungkinan secara teoritis terbuka, termasuk:
Terbentuknya negara Palestina merdeka.
Pendudukan penuh Israel dan pengosongan penduduk Ghaza.
Intervensi internasional melalui PBB atau keterlibatan multilateral yang lebih luas.
Masa Depan yang Masuk Akal (Plausible Futures)
Lebih dekat dengan realitas saat ini:
Gencatan senjata yang rapuh dan mudah runtuh.
Proses rekonstruksi Ghaza yang bergantung pada dukungan luas berbagai pemangku kepentingan.
Masa Depan yang Kemungkinan (Probable Futures)
Dipengaruhi oleh kepentingan aktor global:
Peran besar Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang cenderung mendukung Israel.
Masa Depan yang Diharapkan (Preferable Futures)
Visi ideal yang menjadi tujuan bersama:
Gencatan senjata permanen.
Rekonstruksi menyeluruh Ghaza.
Perubahan Ghaza dari wilayah terpinggirkan menjadi aktor independen penting dalam Palestina merdeka.
Melalui teori masa depan kritis, analisis ini menyoroti tiga langkah utama:
Pemetaan: Mengidentifikasi aktor kunci, dari Palestina, Israel, AS, hingga komunitas internasional.
Menantikan: Menyusun langkah untuk bergerak dari skenario “mungkin” ke arah “diharapkan”.
Pendalaman: Mempertanyakan struktur kekuasaan, termasuk dominasi narasi keamanan yang cenderung menggambarkan Ghaza sebagai ancaman, alih-alih menyoroti hak-hak rakyat Palestina.
Tekanan Publik Global: Masyarakat di Barat semakin kritis terhadap dukungan pemerintah mereka terhadap Israel.
Narasi Keamanan Dominan: Selama Israel memposisikan Ghaza sebagai ancaman, kebijakan akan tetap menitikberatkan pada keamanan Israel.
Narasi Alternatif: Palestina perlu meneguhkan perjuangan anti-imperialis, sejajar dengan gerakan kemerdekaan global lainnya, termasuk sejarah Indonesia.
Indikator Internal Israel: Protes warga Israel terhadap kepemimpinan Netanyahu menunjukkan adanya tekanan domestik yang bisa memengaruhi kebijakan.
Amerika Serikat:
Dukungan militer dan finansial bisa berkurang jika tekanan publik domestik meningkat dan prioritas ekonomi dalam negeri mendesak.
Eropa:
Krisis ekonomi dan protes publik menekan pemerintah Eropa untuk meninjau ulang dukungan mereka terhadap Israel.
Dunia Islam dan OIC:
Dukungan terkoordinasi dari negara mayoritas Muslim melalui OIC berpotensi menjadi penentu arah perjuangan Palestina.
Skenario Terbaik:
Gencatan senjata permanen, pembentukan negara Palestina merdeka, rekonstruksi menyeluruh, serta penghentian operasi militer Israel.
Skenario Terburuk:
Pendudukan penuh Israel atas Ghaza yang justru dalam jangka panjang berisiko merugikan Israel secara strategis, meskipun sementara waktu masih dilindungi kerangka keamanan Barat.
Skenario Kemungkinan (Transisi):
Meningkatnya pengakuan Barat terhadap Palestina, peran aktif PBB, menurunnya dukungan eksternal bagi Israel, serta penguatan tekanan global melalui boikot dan sanksi.
Menggeser Narasi: Dari keamanan menuju keadilan dan penentuan nasib sendiri.
Multilateralisme: Memperkuat peran PBB, OIC, dan blok regional lain untuk menyeimbangkan dominasi unilateral AS.
Peran Masyarakat Global: Kampanye masyarakat sipil (BDS, boikot, sanksi) menjadi instrumen penting untuk menekan Israel.
Beberapa indikator yang harus dipantau:
Hasil Sidang Umum PBB terkait Palestina.
Kebijakan luar negeri AS pasca-pemilu.
Gelombang protes publik di Eropa.
Tekanan domestik di Israel.
Rekonsiliasi internal Palestina.
Membangun narasi global yang menekankan keadilan, bukan sekadar keamanan.
Memperluas tindakan multilateral melalui PBB dan OIC.
Memperkuat kampanye tekanan sipil global terhadap Israel.
Mendukung rekonsiliasi antar-faksi Palestina.
Memanfaatkan momentum diplomatik untuk mempercepat gencatan senjata permanen.
Masa depan Ghaza bukan sekadar soal geopolitik, tetapi juga soal keadilan, martabat, dan hak menentukan nasib sendiri. Skenario yang dihadapi beragam, mulai dari yang paling buruk hingga yang paling diharapkan. Namun, perubahan arah hanya mungkin terjadi jika masyarakat internasional, dunia Islam, dan rakyat Palestina sendiri mampu menekan narasi dominan, menggalang solidaritas, serta memperjuangkan visi masa depan yang adil dan damai.