Senyum merekah keluar dari mulut mungil deretan remaja belasan tahun berseragam biru dengan kerudung abu-abu. Di tengah-tengah mereka, tampak seorang pemuda berusia kisaran tiga puluh tahunan dengan bola mata tampak berbinar-binar penuh optimisme. Di bagian belakang terlihat papan tulis dengan tulisan agak buram dalam Bahasa Farsi “Savad Ayandeh” (Futures Literacy), dan kursi-kursi yang berjajar rapi.
Potret ini muncul beberapa bulan lalu, disajikan seorang dosen muda bersama slide yang ditampilkannya dalam pertemuan tahunan Asosiasi Futuris Iran yang diadakan secara online. Ketika pembicara lain menyajikan isu masa depan politik global hingga lingkungan, serta dampaknya terhadap bisnis, seorang dosen muda di Isfahan menyampaikan pengalamannya mengajarkan Literasi Masa Depan atau Futures Literacy kepada kalangan remaja. Ia beralasan, kalangan remaja harus jadi prioritas pengajaran literasi masa depan, supaya mereka memiliki kecakapan untuk menata masa depan diri, bangsa dan negaranya.
Wajah-wajah mungil para remaja itu mengingatkan saya pada anak yang seusia mereka. Saya penasaran ingin tahu bagaimana mereka memandang masa depannya.Seberapa pentingkah literasi masa depan bagi mereka ?
Malam itu hari selepas acara tersebut, saya mencoba membicarakan isu literasi masa depan dengan memancing tanggapan anak yang masih belia dan cenderung pendiam, dengan menanyakan masa depan disiplin ilmu arsitektur yang diminatinya. Di luar dugaan, anak SMP ini memiliki pemahaman cukup memadai tentang trend masa depan dunia arsitektur, termasuk menyebutkan arsitek terkemuka Inggris-Irak, Zaha Hadid yang memiliki kantor di Metaverse. Tidak hanya itu, ia juga melihat kemungkinan perkawinan disiplin ilmu arsitektur dengan ilmu lain, terutama teknologi informasi, juga kombinasi pola arsitektur klasik Persia dan Nusantara dengan modern, tentu dengan keterbatasan dan gaya komunikasinya sendiri sebagai bagian dari generasi Z.
Dari sini saya, mulai membenarkan statemen John L Petersen dalam bukunya, “Out of the Blue: How to Anticipate Big Future Surprises,” bahwa masa depan begitu cepat datang tanpa pengumuman sebelumnya. Apa yang dipikirkan tentang masa depan oleh generasi Z saat ini tidak pernah hadir dalam memori kecil saya ketika seusianya dahulu. Dari sini, saya pikir pengajaran Futures Literacy atau literasi masa depan begitu penting supaya memiliki kemampuan melek masa depan.
UNESCO menjadikan literasi masa depan sebagai salah satu kemampuan yang memungkinkan orang lebih memahami peran imajinasi masa depan dalam kehidupannya saat ini, dan mendatang, terutama apa yang harus lakukan dan dipersiapkannya.
Istilah literasi masa depan meniru ide literasi membaca dan menulis, yang dapat dan harus dimiliki setiap orang, sehingga lebih siap menghadapi masa depan.
Mengapa Literasi Masa Depan Penting?
Masa depan tidak pasti dan tidak bisa dipastikan, meski bisa diprediksi. Perubahan iklim, pandemi, krisis ekonomi, sanksi, perubahan sosial, konflik, perang dan berbagai fenomena lainnya, menjadikan masa depan tidak bisa ditentukan secara pasti.
Modernitas menempatkan dunia dalam pola penyeragaman, keteraturan dan mekanisasi. Dampaknya, sangat luas, bahkan merambah disiplin ilmu social yang serba tidak pasti dengan prinsip kepastian ilmu alam.Tengok saja, analisis ekonomi dengan model Time Series analysis yang diadopsi dalam ilmu sosial, atau teknik SWOT dan manajemen strategis dalam disiplin ilmu manajemen yang saat ini banyak dipersoalkan validitasnya, karena tidak mampu menjawab berbagai permasalahan global yang dinamis. Masalah paling mendasar dari teknik-teknik ini bertumpu pada kontinyuitas data masa lalu, masa kini dan masa depan. Tapi pada saat yang sama mengabaikan masalah diskontinyuitas.
Kemunculan teori baru berbasis chaos theory seperti: butterfly effect, black swan, disruption dan lainnya, menegaskan sebuah fakta bahwa data masa lalu dan masa kini tidak bisa dibaca secara linear semata untuk memprediksi masa depan. Sebab, pola-pola yang didapatkan dari data masa lalu dan saat ini tidak hanya bersifat kontinyu, tapi juga diskontinyu, serta kemampuan pemilahan dan pemaknaan keduanya.
Manusia pada dasarnya memiliki kapasitas mengidentifikasi dan memberi makna pada kontinyuitas dan diskontinyuitas dengan menggunakan imajinasinya, dan mengantisipasi apa yang belum ada. Masa depan yang selalu imajiner memainkan peran kunci untuk dapat memilah dan memilih berbagai jenis kontinuitas dan diskontinuitas dalam proses mengantisipasi apa yang terjadi di masa depan dan menyiapkannya saat ini.
Pada sisi ini, literasi masa depan memberikan dorongan untuk membuka ruang baru dari empat sisi dalam pendekatan Futures Studies guna mengimbangi sisi yang terlampau kuat diterima dalam benak masyarakat global tentang dominasi dunia eksakta. Sains dalam Futures Studies hanya mengisi satu bagian kecil dalam pola segi empat Popper (2208) Foresight Diamond yaitu: expertise, creativity, evidence, interaction.
Selama ini saintisme begitu mencengkeram kuat dalam benak banyak kalangan, karena dianggap meraih berbagai keberhasilan dengan temuan-temuan barunya. Bahkan pada tahap sangat ekstrem, mempersoalkan peran agama dan disiplin ilmu filsafat yang pernah menjadi induk semang semua ilmu. Mereka meyakini sains modern lebih canggih, akurat dan valid dalam mengatasi masalah dunia saat ini. Tapi ada yang mereka lupakan bahwa sains sendiri bersifat dinamis, bahkan sangat dinamis yang bisa mengatasi masalah secara partikular dengan basis kontinuitas, dan seringkali gagal dalam menghadapi problem yang lahir dari ketidakpastian dan diskontinyuitas. Oleh karena itu, pendekatan sains yang berbasis data kontinyu tidak memadai digunakan sebagai pendekatan dalam Futures Studies, kecuali sebagai data spasial saja. Sebab dalam Futures Studies yang diasah bukan hanya kemampuan menganalisis data yang bersifat kontinyu, tapi juga pengembangan kemampuan imajinatif yang dipadukan dengan penggalian tacit knowledge dari pengalaman dan keahlian yang membuka ruang-ruang dialogis serta penggalian gagasan kreatif dan inovatif.
Perubahan besar di dunia seringkali bukan lahir dari para saintis, meskipun sains menjadi basis dasarnya. Ketika Wright bersaudara berhasil menerbangkan pesawat yang sangat sederhana Wright Flyer III pada 23 Juni 1905, para ahli dan media di Eropa mencemooh sinis dengan menyebut keduanya sebagai bluffeurs, tukang gertak.
Para saintis meragukan kemampuan Orvill dan Wilbur Wright yang hanya tukang bengkel dengan pendidikan sekolah menengah atas bisa membuat pesawat terbang. Tapi imajinasi, keberanian dan ketekunan Wright bersaudara melampaui semua itu, sebagaimana dikatakannya, “If we worked on the assumption that what is accepted as true really is true, then there would be little hope for advance (Jika kami bekerja dengan asumsi sebagaimana yang mereka terima sebagai kebenaran, maka nyaris tidak ada harapan untuk maju).”
Literasi masa depan mendorong pengggalian imajinasi dan penguatannya dalam tindakan untuk menyongsong masa depan. Mengamini Edward Cornish, “Tujuan akhir Futures Studies membangun masa depan yang terbaik”.
Masa depan yang terbaik tidak cukup dengan sains dan butuh bidang lain, termasuk agama. Filsafat dan tasawuf sebagai dua sayap penting studi agama dalam sejarah terbukti memberikan peran penting sebagai dua sayap untuk mengasah instuisi dan imajinasi. Persoalannya, pengajaran dua bidang penting ini justru semakin menjauh dari subtansinya sebagai pembebas dan penyuci yang saling melengkapi sebagai disiplin yang mengasah inspirasi dan instuisi. Dari pendekatan ini, Futuris Iran, Khazaee mendefinisikan tujuan utama Futures Studies untuk menganalisis, merancang dan membangun masa depan berdasarkan prinsip nilai-nilai dalam masyarakat. Dan Literasi masa depan menyiapkannya lebih baik.
Purkon Hidayat, Fellow Strategic Foresight, Post-DBA,TBS,Tehran.